Rabu, 10 Maret 2010

BOLA ITU TIDAK PADAM KECUALI DI PADAMKAN

Menjadi perangai sebuah lilin ataupun lampu bagi saya tidak akan menambah sebuah nilai kebaikan. Bagaimana tidak, sementara ia menerangi umat di sekeliling tubuhnya, ia tak kuasa menerangi dirinya sendiri. Bahkan perlahan sejalan dengan waktu perangai lilin seperti itu meleleh membanjiri tubuh putih yang semula berdiri tegak seolah menantang gelap untuk di halangi hingga terang yang menjadi pemenang. Apakah cukup membanggakan prestasi sebuah lilin? tidak hanya sebatas lelehan yang mengecewakan bagi saya, lilin pula tak sanggup menerangi dirinya seorang diri. Ia mampu bersinar di tengah kegelapan dan kegalauan umat yang terjebak di dalamnya, namun ia tak mampu menyelamatkan dirinya sendiri yang sejatinya ia adalah sang penerang bagi sang gelap, semestinya ia punh mampu berperan sebagai penerang bagi dirinya sang penerang. Ini yang di namakan Perangai lilin bukan Perangai bulan.

Itu lah mengapa saya lebih tertarik pada bulan , sebut saja si bola emas yang tak perlu meleleh saat ia menerangi yang gelap, tak perlu padam saat ia tertiup angin, bahkan tidak habis usia nya di makan zaman. Tak hanya itu yang membuat saya cinta akan rembulan. Ia tak sekedar menerangi sang gelap di malam yang sedikit pengap, ia pun mampu menjadi penerang bagi dirinya sendiri meski sesekali di bantu oleh bintang atau surya di saat gerhana. Tak menutup kemungkinan di saat mendung sekalipun pernah saya temukan dia dalam keadaan redup, laiknya lilin atau lampu totok yang hendak padam karena kehabisan bahan bakar. Tapi sekali lagi itu bukan analogi yang tepat menurut saya karena bulan tetap seperti bola yang utuh meski dalam keadaan redup sekalipun sementara lilin ataupun lampu sekalipun tak kuat atas segala beban.

Ketika ditemukan lampu padam, atau lilin habis terbakar pasti saya membeli lainnya. Begitu juga anda?. Semenatra seandainya saya buka saja jendela kamar lalu menatap ke arah atas yang sejatinya di penuhi bintang tak akan saya tengok bintang, yang akan saya tatap adalah bola itu. Tak akan di bilang indah bintang itu jika bola tak ada di samping-samping nya. Satu hal lagi yang membuat saya kagum akan perangai sebuah bola emas itu adalah tatkala datang gerhana yang mungkin sedikit menakutkan bagi saya(^^) tapi ada segi estetika yang saya lihat ketika ia bertemu surya dengan gairah ingin menunjukan kepada umat bahwa mereka yang sejatinya berasal dari sudut pandang yang berbeda mampu membentuk sebuah seni yang bernilai. Beda dengan lilin ataupun lampu totok, ah apalah mereka takkan sanggup seperti nya. Apa mungkin kita menyatukan lampu totok dengan lilin hingga menjadi gerhana lilin? sekali lagi maaf saya tidak tertarik kalaupun itu terjadi. Mana ada lilin yang tak meleleh. Yang ada Bulan yang tak pernah padam, KECUALI IA DI PADAMKAN oleh Dzat yang memang menjadi pemilik mutlak untuknya.

Sekali lagi , itulah yang membuat saya berpegang teguh pada pada sebuah prinsip. Saya tak mau menjadi LILIN tetapi saya sangat mau menjadi BULAN , bola emas yang di nanti kedatangannya saat sang malam berbicara. Bukan bintang, apalagi LILIN.

Ayo tinggalkan perangai kita yang selama ini tampak seperti lilin.
^^ ^^

4 komentar:

  1. maaf
    bagi pembaca yang budiman ada beberapa kata yang kurang tepat dalam pengetikan.

    seperti :
    uma.
    penulis bermaksud menulis umat. namun ada kesalahan .

    BalasHapus
  2. maaf,,udah aku edit kok,,silakan di baca dan di pahami ya.^^

    BalasHapus
  3. Septian,saya sempatkan membuka blogmu. Bagus. Kita belajar sama-sama. Keep going on.

    BalasHapus
  4. jadi teringat dengan aneknot "jari yang menunjuk ke bulan"

    BalasHapus